![]() |
Foto : Wabup Lotim, HM. Edwin Hadiwijaya |
LOMBOK TIMUR - Data menyebutkan kasus pelecehan seksual dan kekerasan anak dibawah umur tahun 2024 lalu di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mencapai 42 kasus. Bahkan, angka tersebut tertinggi di NTB. Hingga Per bulan April 2025 pun, kasus ini sudah mencapai 23 kasus. Bukannya tidak mungkin, angka tersebut berpotensi meningkat jika tidak cepat diantisipasi.
Wakil Bupati (Wabup) Lombok Timur, HM. Edwin Hadiwijaya pun merasa miris dengan tingginya angka kekerasan seksual dan kekerasan pada anak dibawah umur.
Namun, angka tersebut dapat dicegah apabila seluruh elemen bergerak. Tidak hanya pemerintah daerah atau Aparat Penegak Hukum (APH), melainkan masyarakat, lembaga pendidikan, tokoh agama dan tokoh masyarakat berkolaborasi untuk ikut mencegah kasus tersebut.
Yang terpenting kata orang nomor dua di Lombok Timur itu, pengawasan orang tua dan kepedulian lingkungan sekitar menjadi faktor utama bentuk pencegahan.
"Kita tidak bisa hanya dengan berkata kasihan, sedih atau malah memojokkan mereka, sebab banyak variable yang bisa menyebabkan mereka begitu. Seperti anak broken home, orang tuanya ke luar negeri atau pengawasan orang tua yang sangat kurang dan sebagainya yang bisa mempengaruhi kasus itu terjadi," papar Edwin kepada channelntb.com, belum lama ini.
Lebih jauh dijelaskan Edwin, kasus pelecehan seksual dan kekerasan anak dibawah umur ini banyak faktor yang mempengaruhi. Tidak hanya kelalaian orang tua sebagai lingkungan terkecil, terkadang alat komunikasi seperti handphone (hp) menjadi salah satu sumber malapetaka.
"Dari tempat tidur pun anak-anak ini melakukan komunikasi. Nah, inilah yang harus diawasi secara ketat oleh orang tua dalam keluarganya. Seperti kasus yang baru saja terjadi dimana siswi melahirkan didalam toilet puskesmas Selong," ujarnya.
Gambaran ini menurut Edwin menandakan bentuk kurangnya pengawasan orang tua dan lingkungan sekitar. Diketahui, dalam lingkungan sekolah pun, hanya beberapa jam saja untuk mendapatkan pelajaran. Untuk itu, lingkungan keluarga dan tempat tinggal memiliki banyak waktu dalam berinteraksi.
Dalam hal ini, pemerintah daerah akan terus melakukan sosialisasi bekerja sama dengan penegak hukum dengan melibatkan para tokoh agama terutama dengan lingkungan pesantren.
"Banyak da'i -da'i muda kita yang bisa dilibatkan untuk sosialisasi tentang bahaya kekerasan seksual dan kekerasan anak dibawah umur. Misalnya dengan melakukan ceramah atau khotbah," urai Edwin.
Meskipun beberapa kasus acap kali terjadi kekerasan seksual di Pondok Pesantren (Ponpes), itu hanya bersifat kasuistis dan ratio-nya kecil. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Ponpes ter-blow up lantaran lingkungan tersebut tempat mengajarkan pendidikan agama dan adab.
"Pelaku pelecehan di ponpes itu hanya oknum jumlahnya satu orang. Sementara ustadz dan ustadzah jumlahnya ratusan. Bagi saya kasus yang mencuat itu bersifat kasuistis," tandasnya.
Disamping itu, forum ponpes di Lotim pun memiliki peranan penting dalam menyikapi masalah ini. Sehingga tidak ada lagi ponpes tercemar oleh oknum-oknum seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. (CN)
0 Komentar